RSS

Arsip Bulanan: Desember 2017

MUJARAAH, MUKHABARAH, DAN MUSYAQAH

MUJARAAH, MUKHABARAH, DAN MUSYAQAH

Pemakalah    : Yayan Nuryanah

Mata Kuliah  : Fiqih Muamalah

Semester       : III

Dosen           : Asep Irfan Rifa’i, S.Pd.I., M.Pd

Kampus         : STAI YAPERI CIBINONG 2017

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia dijadikan Allah Swt.sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara manusia dengan manusia lainnya.Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.

Dalam kehidupan sosial,Nabi Muhamad Saw.mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama,dalam pembahasan kali ini pemakalah ingin membahas tiga diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhamad Saw.yaitu mujaraah,mukhabarah dan musyaqah.Karena didalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan sosial.

Rumusan Masalah

  1. Apa yang dimaksud dengan mujaraah/mukhabarah?
  2. Apa syarat,ihwal,hukum &akhir penghabisan mujaraah?
  3. Apa yang dimaksud dengan musyaqah/muamalah?
  4. Apa syarat,hukum,rukun dan habis waktu musyaqah?

 Tujuan

Adapun tujuan dari disusunnya makalah ini yaitu agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami:

  1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan mujara’ah/mukhabarah
  2. Untuk mengetahui syarat,ihwal,hukum & akhir penghabisan mujara’ah
  3. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan musyaqah/muamalah
  4. Untuk mengetahui Apa syarat,hukum,rukun dan habis waktu musyaqah?

BAB II PEMBAHASAN

Arti, Landasan dan Sifat Mujara’ah

Pengertian Mujara’ah

Secara etimologis.mujara’ah al-mujaraatu adalah wajan mufaalatudari kata azzar’u yang sama artinya dengan al-inbatu yang artinya menumbuhkan.Mujara’ah dinamai pula dengan al-mukhabarah dan muhaqalah.orang-orangirak memberikan istilah mujaraah dengan al-qarah.

Menurut treminologi syara’,para ulama berbeda pendapat antara lain.

Ulama malikiyah:

Assyirkatufizzar’I Artinya: “perkongsian adalah bercocok tanam”

Ulama hanabilah

Daf’ul ardi ilamayyazo’roaha auya’mallu alaiha wazzar’u bainahuma Artinya:”menyerahkan tanah kepada orang yang bakan bercocok tanam atau mengelolanya ,sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi diantara keduanya”

Ulama syafi’iah membedakan antara mujaraah dan mukhabarah Almuhobarotu hiya amalul ardi biba’diha ma yahruju minha walbajru minal amili.walmujro’atu hiya almuhobarotu walkinal bajro fiha yakunu minal maliki. Artinya:”mukhabarah adalah mengelola tanah diatas sesuatun yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola.adapun mujara’ah,sama seperti mukabarah,hanyasaja benihnya berasal dari pemilik tanah”

Landasan Hukum

Imam hanafi dan jafar tidak mengakui keberadaan mujara’ah dan menganggapnya fasid.Begitu pula dengan Imam Syafi’i ,tetapi sebagian ulama syafi’iyah mengakui dan mengaitkannya dengan musyaqah (pengelolaan kebun) dengan alasan untuk memenuhi kebuthan,tetapi mereka,tidak membolehkan mukhabarah sebab tidak ada landasan yang membolehkannya.

Diantara alasan yang dikemukakan oleh ulama hanafiyah,jafar, imam syafi’iadalah hadis yang diriwayatkan oleh muslim dari jabir ibn abdullah bahwa Rassulullah SAW. Melarang mukhabarah.Demikian pula dalam hadis ibn Umar yang juga diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rassulullah SAW.melarang mujara’ah.

Hukum mujara’ah dan mukhabarah yang sahih menurut ulama hanafiyah adalah sebagai berikut :

  1. Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
  2. Biaya atas tanaman dibagi antara penggarap dengan pemilik
  3. Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan aqad
  4. Menyiram atau menjaga tanaman
  5. Dibolehkan menambah penghasilan dan kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.

Macam-macam Mujara’ah

  1. Tanah dan bibit berasal dari satu pihak,sedangkan pihak lainnya menyediakan alat juga melakukan pekerjaan.
  2. Tanah disediakan satu pihak,sedangkan alat,bibit,dan pekerjaannya disediakan oleh pihak lain.Hukum yang kedua ini diperbolehkan .Disini penggarap sebagi penyewa akan mendapat sebagian hasilnya sebagai imbalan.
  3. Tanah,alat,bibit,disediakan pemilik,sedang tenaga dari pihak penggarap
  4. Hukum ketiga ini juga diperbolehkan.

Tanah dan alat disediakan oleh pemilik,sedangkan benih dan pekerjaan dari pihak penggarap.Pada bentuk yang keempat ini menurut Zhahir riwayat,mujaraah menjadi fasid. Ini dikarenakan misal akad yang dilakukan sebagai menyewa tanah maka alat dari pemilik tanah menyebabkan fasid,ini disebabkan alat tidak mungkin mengikuti kepada tanah karena ada bedanya manfaat,sebaliknya jika akad yang terjadi menyewa tenaga penggarap maka bibit harus berasal dari penggarap.

 Rukun Mujara’ah atau Mukhabarah

Rukun-rukun dalam akad mujara’ahjamhur ulama yang membolehkan akad mujara’ah menetapkan rukun yang harus dipenuhi,agar akad itu menjadi sah

  1. Ijab qabul (aqad)
  2. Penggarap dan pemilik tanah(akid)
  3. Adanya obyek (ma’qud alaih)
  4. Harus ada ketentuan bagi hasil

Dalam akad mujara’ah apabila salah satunya tidak terpenuhi,maka pelaksanaan akad mujara’ah tersebut batal.

Syarat Mujara’ah

Menurut Abu Yusuf dan Muhamad

Syarat Aqid (orang yang melangsungkan akad)

  1. Mumayiz,tetapi tidak disyaratkan balig
  2. Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad,tetapi ulama hanafiyah tidak mensyaratkannya.

Syarat Tanaman

Diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat,tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada pekerja.

Syarat dengan Garapan

  1. Memungkinkan untuk digarap,yakni apabila ditanami akan menghasilkan.
  2. Jelas
  3. ada penyerahan tanah

Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan

  1. Jelas ketika akad
  2. Diharuskan atas kerjasama dua orang yang akad.
  3. Ditetapkan ukuran diantara keduanya ,seperti sepertiga,setengah,dan lain lain.
  4. Hasil dari tanaman hasrus menyeluruh diantara dua orang yang akan melangsungkan akad.tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mendapatkan sekadar pengganti biji.

Tujuan Akad

Akad dalam mujara’ah harus didasarkan pada tujuan syara’yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah.

Syarat Alat Bercocok Tanam

Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau modern dengan maksud sebagai konsekuensi akad.jika hanya bermaksud menggunakan alat dan tidak dikaitkan dengan akad,mujara’ah dipandang rusak.

Syarat Mujara’ah

Dalam mujara’ah diharuskan menetapkan waktu,jika waktu tidak ditetapkan,mujara’ah dipandang tidak sah.

Ulama Malikiyah

Syarat-syarat menurut ulama Malikiyah adalah :

  1. Kedua orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih.
  2. Hasil yang diperoleh harus disamakan antara pemilik tanah dan penggarap
  3. Benih harus berasal dari kedua orang yang melangsungkan akad

Ulama Syafi’iyah

Ulama Syafi’iyah tidak mensyaratkan persamaan hasil yang diperoleh oleh kedua aqid dalam mujara’ah yang mengikuti atau berkaitan dengan musyaqah .Mereka berpendapat bahwa muzaraah adalah pengelolaan tanah atas apayang keluar dari bumi,sedangkan benihnya berasal dari kedua orang yang melangsungkan akad.

Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah sebagaimana ulama Syafi’iyah tidak mensyaratkan persamaan antara penghasilan dua orang yang akad.

Namun demikian,mereka mensyaratkan lainnya.

  1. Benih berasal dari pemilik,tetapi diriwayatkan bahwa Imam Ahamd membolehkan benih berasal dari penggarap
  2. Kedua orang yang melangsungkan akad harus menjalankan bagian masing-masing
  3. Mengetahui dengan jelas jenis benih.

Dalil Mujara’ah

Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Artinya ”Dari ibnu umar berkata Rasullulah memberikan khaibar kepada kepada orang-orang yahudi dengan syarat mereka mau mengerjakan dan mengolahnya dan mengambilnya sebagian dari hasilnya”

Dalil Mukhabarah

Berkata Rafi bin Khadij”daiantar Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami,maka kami persewakan  sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya.kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lainnya tidak berhasil,maka oleh karenanya Rassulullah melarang paroan dengan cara demikian (H.R.Bukhari)

Hikmah Mujara’ah

Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani dan penggarap,meningkatkan kesejahteraan masyarakat,tertanggulanginya kemiskinan,terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.

Mukhabarah

Dalam mukhabarah,yang wajib zakat adalah penggarap atau petani ,karena dialah hakikatnya yang menanam,sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya.Jika benih berasal dari keduanya ,maka zakat diwajibkan kepada keduanya.

Adapun hikmah mukhabarah antara lain:

Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik dan penggarap, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, tertanggulanginya kemiskinan, terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.

Penghabisan Mujara’ah

Beberapa hal yang menyebabkan mujara’ah habis :

  1. Habis masa Mujara’ah
  2. Salah seorang yang akad meninggal
  3. Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiyah,diantara uzur yang menyebabkan batalnya mujara’ah antara lain:
  • tanah garapan terpaksa dijual,misalnya untuk membayar hutang
  • Penggarap tidak dapat mengelola tanah,seperti sakit,jihad dijalan Allah Swt.dan lain-lan.

MUSYAQAH/MUAMALAH

Arti Musyaqah

Menurut etimologi,musyaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah menyebutnya dengan istilah muamalah.Akan tetapi,istilah yang lebih dikenal adalah musyaqah. Adapun menurut terminologi islam,antara lain : “mu’aqadatu daf’il asjari ila mayya’malu fiha ala annassamrata bainahuma”

Yang artinya”suatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi diantara keduanya”.

Asas Legalitas

Musyaqah menurut ulama Hanafiyah sama seperti mujara’ah, baik dalam hukum dan persyaratan yang memungkinkan musyaqah.Abu Hanifah dan Abu Jafar tidak membolehkannya,dengan mendasarkan pendapatnya pada hadis: mangkanat’s lahu ardu falyazro’ha wala yukri ha bitsulusi wala birubu’I wala bitho’a mimussamma”. Artinya”Barang siapa yang memiliki tanah,hendaklah mengelolanya,tidak boleh menyewakannya dengan sepertiga atau seperempat,dan tidak pula dengan makanan yang telah ditentukan”

 Pebedaan antara Musyaqah dan Mujara’ah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah,kecuali dalam 4 perkara.

  1. Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad,dalam musyaqah,ia harus dipaksa, tetapi dalam mujara’ah,ia tidak boleh dipaksa.
  2. Jika waktu musyaqah habis,akad diteruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah, sedangkan dalam mujara’ah,jika waktu habis,pekerjaan diteruskan demgan pemberian upah.
  3. Waktu dalam musyaqah ditetapkan berdasarkan istihsan,sebab dapat diketahui dengan tepat,sedangkan waktu dalam mujara’ah terkadang tidak tertentu.
  4. Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah,penggarap diberi upah.Sedangkan dalam mujara’ah jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu,penggarap tidak mendapatkan apa-apa.

Ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya.

Bagi orang yang mampu berbicara,qabul harus ducapkan agar akad menjadi lazim,seperti pada ijarah.Menurut ulama Hanabilah, sebagaimana pada mujara’ah,tidak disyaratkan qabul dengan ucapan,melainkan cukup dengan mengerjakannya.

Hukum Musyaqah

Hukum musyaqah sahih

Musyaqah sahih menurut para ulama memiliki beberapa hukum atau ketetapan

Menurut ulama Hanafiyah hukum musyaqah adalah sahih adalah sebagai berikut :

  1. Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan dibagi dua
  2. Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan
  3. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu,keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
  4. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak.
  5. Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada uzur
  6. Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati
  7. Penggarap tidak memberikan musyaqah kepada penggarap lain,kecuali diizinkan oleh pemilik.

Ulama Malikiyah

Pada umumnya menyepakati hukum-hukum yang ditetapkan ulama Hanafiyah di atas.Namun,demikian,mereka berpendapat dalam penggarapan.

  1. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh diisyaratkan.
  2. Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah,tidak wajib dibenahi oleh penggarap
  3. Sesuatu yang berkaitan dengan buah,tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap,seperti menyiram atau menyediakan alat garapan dan lain-lain.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah dalam membatasi pekerjaan penggarap diatas,dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap,sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.

Hukum musyaqah fasid

Musyaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara.Beberapa keadaan yang dapat dikategorikan musyaqah fasidah menurut ulama Hanafiyah antara lain:

  1. Mensyaratkan hasi musyaqah bagi salah seorang dari yang akad
  2. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad
  3. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarap,sebab penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya.
  4. Mensyaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian

Syarat Musyaqah

  1. Ahli dalam akad
  2. Menjelaskan bagian penggarap
  3. Membebaskan pemilik dari pohon
  4. Hasil pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
  5. Sampai batas akhir,yakni menyeluruh sampai akhir

Rukun Musyaqah

  1. Dua orang yang akad (al-aqidani)Al-aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal
  2. objek musyaqah
  3. Objek musyaqah menurut ulama hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah,seperti kurma.akan tetapi,menurut sebagian ulama hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.
  4. Buah, disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
  5. Pekerjaan, disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri
  6. Shighat, Menurut ulama syafi’iyah tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam aqad musyaqah sebab berlainan akad.
  7. Habis waktu musyaqah

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah sebagai mana mujara’ah dianggap selesai dengan adanya tiga perkara:

  1. Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
  2. Meninggalnya salah seorang yang akad
  3. Membatalkan baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur.

Menurut ulama Malikiyah

Musyaqah adalah akad yang dapat diwariskan.Dengan demikian ahli waris bisa melanjutkannya,musyaqah dianggap tidak batal apabila penggarap diketahui seorang pencuri,tukang berbuat zalim,atau tidak dapat bekerja.

Menurut ulama syafi’iyah

Musyaqah tidak batal dengan adanya uzur,walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat.Akan tetapi pekerjaan penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya.

Menurut ulama Hanabilah

Musyaqah sama dengan mujara’ah yakni termasuk akad yang dibolehkan tetapi tidak lazim. Dengan demikian setiap sisi dari musyaqah dapat membatalkannya.Jika musyaqah rusak setelah tampak buah,buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian waktu akad.

Hikmah Musyaqah

  1. Menghilangkan bahaya kefakiran dan kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi segala kekurangan dan kebutuhan.
  2. Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
  3. Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan dan akan tumbuh subur karena dirawat.

BAB III PENUTUP

Simpulan

  1. Mujara’ah ialah mengerjakan tanah orang lain,seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya dibagi seperdua, sepertiga, seperempat, sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
  2. Mukhabarah ialah mengerjakan tanah orang lain seperti sawah, atau ladang engan imbalan sebagian hasilnya dibagi seperdua,sepertiga,seperempat, sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
  3. Musyaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.

Saran

Demikian makalah ini penulis buat,semoga dari uraian yang telah dibahas dapat membantu kita dalam bermuamalah,dan makalah ini bisa bermanfaat bagi seluruh pembaca dalam kehidupan sehari-hari.

Selain kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna.Maka dari itu kami berharap agar pembaca terutama kepada dosen mata kuliah fiqih muamalah berkenan untuk memberikan masukan baik berupa kritikan maupun saran yang memotivasi mengenai penulisan serta penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Rachmat, A, Prof. Dr. H. Syafe’i. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.
  2. Rasjid, Sulaeman. 2013. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
  3. Syafei, Ag. M.Si, Nurdin. 2016. Buku Siswa Fiqih. Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia.
 
6 Komentar

Ditulis oleh pada 25 Desember 2017 inci Diskusi Online

 

Tag: , ,

MUDHAROBAH ATAU QIRADH

MUDHAROBAH ATAU QIRADH

Pemakalah       : Yunida Susilawati

Semester          : III

Kampus           : Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ar-Ridho Cibinong 2017

Dosen              : Asep Irfan Rifa’i, S.Pd.I., M.Pd

 BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sudah cukup lama umat Islam Indonesia, demikian juga belahan dunia menginginkan perekonomian yang berbasis nilai-nalai dan prinsip syari’ah untuk dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan. Di zaman sekarang kita hanya menerapkan Islam hanya dalam ibadah saja, tetapi terkadang dalam dunia perekonomian kita tidak memperhatikan nilai-nilai Islam tersebut, sehingga seringnya merugikan orang lain, dengan tidak memberikan hak-hak yang orang lain, seperti bagi hasil yang tidak merata, sehingga ada salah satu pihak menjadi terzholimi. Oleh karena itu kami akan membahas salah satu akad atau cara bagi hasil sesuai yang telah dijelaskan  pada Al-quran dan Hadits, yaitu “Qiradh atau mudharabah.”

Mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan keputusan.

Para ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya dibolehkan (mubah) berdasarkan Al-quran, sunah, dan ijma’.

Dalam pelaksanaan qiradh kita harus sesuai denga rukun dan syarat qiradh itu sendiri, qiradh pun dapat diterapkan di perbankan, dan qiradh juga mempunyai manfaat dan risiko dalam menjalankannya.

Rumusan Masalah

  1. Pengertian Qiradh atau mudharabah.
  2. Dasar hukum mudharabah dan qiradh.
  3. Rukun dan syarat mudharabah atau qirad.
  4. Hukum mudharabah atau qiradh.
  5. Jenis-jenis mudharabah.
  6. Aplikasi dalam perbankan.
  7. Manfaat dan risiko mudharabah.

Tujuan

Tujuan dari penulisan makala ini, selain untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqh muamalah, juga agar dapat memberikan manfaat khususnya penulis sendiri dan umumnya bagi masyarakat atau mahasiswa, yaitu:

  1. Kita dapat mengetahui pengertian qiradh atau mudharabah.
  2. Kta dapat mngetahui dasar hukum mudharabah dan qiradh.
  3. Kita dapat mengetahui rukun dan syarat mudharabah atau qirad.
  4. Kita dapat mengetahui hukum mudharabah atau qiradh.
  5. Kita dapat mngetahui jenis-jenis mudharabah.
  6. Kita dapat mengetahui aplikasi mudharabah atau qiradh dalam perbankan.
  7. Kita dapat mengetahui manfaat dan risiko mudharabah atau qiradh.

BAB II QIRADH

Pengertian

Pengertian qiradh dan mudharabah mempunyai satu maknah. Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan qiradh atau muqaradhah bahasa penduduk Hijaz.

Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan. Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “ Dan yang lainnya, bepergian dimuka bumi mencari karunia Allah. (Al-Muzammil: 20).

Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan. Ada pula yang menyebutkan mudharabah atau qiradh dengan muamalah.

Jadi, menurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan), berjalan, dan atau berpergian.

Menurut istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama, sebagai berikut:

Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya bagi pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Menurut Hanafiah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain yang lainnya punya jasa mengelola harta itu. Maka mudharabah ialah “ Akad syirka dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.”

Malikiyah berpendapat, bahwa mudharabah ialah “akad perwakilan, di mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak).”

Imam Hanabila berpendapat bahwa mudharabah ialah “ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu pada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.”

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah “akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.”

Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah “seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan bersama-sama.”

Al-Bakri Ibn Al-Arif billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwa mudharabah ialah “seseorang yang memberikan masalahnya kepada yang lain dan didalamnya diterima penggantinya.”

Sayyid Sabiq berpendapat, bahwa mudharabah ialah akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.

Menurut Imam Taqiyuddin, mudharabah ialah “akad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.”

Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan bahwa mudharabah adalah “semacam syariat, bermufakat dua orang padanya dengan ketentuan: modal dari satu pihak, sedangkan usaha menghasilkan keuntungan dibagi di antara mereka.

Setelah kita mengetahui beberapa pendapat para ulama diatas mengenai mudharabah atau qiradh, kiranya kita dapat pahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan keputusan.

Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. (Dr. Muhammad Syafi’I Antonio., M.Ec. 2001:95).

Dasar Hukum Mudharabah atau Qiradh

Secara umum, landasan dasar syariah al-mudharabah lebih mencerminkan anjuaran untuk melakukan usaha. Melakukan mudharabah atau qiradh adalah mubah (boleh). Para ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-quran, sunah, dan ijma’.

Al-quran

Seperti yang telah dijelaskan sebelumya ayat Al-qur’an yang menjelaskan hukum mudharabah atau qiradh terdapat pada surah Al-Muzammil ayat 20:

Artinya: “ Dan yang lainnya, bepergian dimuka bumi mencari karunia Allah.” (Al-Muzammil: 20).

Yang menjadi wajhud-dilalah atau argument dari surah Al-Muzammil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.

Artinya: “Apabila shalat telah dilaksanakan dilaksanakan maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah…..” (Q.S Al-jumu’ah: 10).

Artinya: “Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu…(Al-Baqarah: 198).

Surah Al-Mujadilah: 10 dan Al-Baqarah: 198 sama-sama mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha. (Dr. Muhammad Syafi’I Antonio., M.Ec. 2001: 95-96).

Al-Hadits

Hadits yang diriwayatkan oleh Shuhaib:

Artinya: “Dari Shuhaib r.a bahwa Saw bersabda: Ada tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan : jual beli yang di tangguhkan, member modal (muqharadah), mencampurkan gandum dengan jagung untuk keluarga, bukan untuk dijual.”

(Dr. Mardani. 2011: 194-195).

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik:

Artinya: “Dari ‘Ala’ bin Abdurrahaman dari ayahnya dari kakeknya bahwa Utsman bin ‘Affan memberikan harta dengan cara qiradh yang dikelolanya, dengan ketentuan dibagi diantara mereka berdua.

(Sayid Sabiq. 1981: 212).

 Ijma’

Imam Zailani telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits yang dikutip Abu Ubaid. (Dr. Muhammad Syafi’I Antonio., M.Ec. 2001: 96).

 

Rukun dan Syarat Mudharabah atau Qiradh

Menurut ulama Syafi,iyah, rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:

  1. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
  2. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
  3. Aqad mudharabah dilakukan dengan pemilik dengan pengelola barang.
  4. Mal, yaitu harta pokok atau modal.
  5. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
  6. (Dr. H. Hendi Suhendi, M. Si. 2010: 139).

Rukun akad mudharabah menurut Hanafiah adalah Ijab dan Qabul, dengan menggunakan lafal yang menunjukkan kepada arti yang mudharabah. Lafal yang digunakan untuk ijab adalah lafal mudharabah, muqharadah, mu’malah, serta lafal-lafal lain yang artinya sama dengan lafal-lafal tersebut. Sebagai contoh, pemilik modal mengatakan: “Ambillah modal ini dengan mudharabah, dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi diantara kita berdua dengan nisbah setengah, seperempat, atau sepertiga.”

Adapun lafal qabul yang digunakan oleh ‘amil mudhorib (pengelola) adalah lafal: saya ambil, atau saya terima, atau saya setuju, dan semacamnya. Apabila ijab dan qabul telah terpenuhi maka akad mudharabah telah sah.

Menurut jumhur ulama, rukun mudharabah ada tiga, yaitu:

  1. ‘aqid, yaitu pemilik dan modal dan pengelola(‘amil/mudhorib).
  2. Ma’qul ‘alaih, yaitu modal , tenaga (pekerja) dan keuntungan, dan
  3. Shighat, yaitu ijab dan qabul.

Adapun syarat-syarat mudharabah atau qiradh, antara lain:

Modal harus dinyatakan dengan jelas mengenai jumlahnya, seandainya modal berbentuk barang maka barang tersebut harus dihargakan dengan harga semasa dalam uang yang beredar (atau sejenisnya).

  1. Modal harus diserahkan kepada mudharib untuk memungkinkannya melakukan usaha.
  2. Modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
  3. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dengan persentase dari keuntunga yang mungkin dihasilkan nanti.
  4. Kesepakatan rasio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak.
  5. Pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh (atau sebagian) modal kepada shahib a-mal.

Hukum Mudharabah atau Qiradh

Hukum mudharabah ada dua macam yaitu:

Mudharabah fasid

Apabila mudharabah fasid karena ayat-ayat yang tidak selaras dengan tujuan mudharabah maka menurut Hanafiah, Syafi’iyah, dan Hanabila mudharib tidak berhah melakukan melakukan perbuatan sebagaimana  (mudharib) tidak berhak memperoleh biaya operasional dan keuntungan yang tertentu, melainkan ia hanya memperoleh upah yang sepadan atas hasil pekerjaannya, baik kegiatan mudharabah tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Apabila dalam kegiatan mudharabah tersebut diperoleh keuntungan maka keuntungan tersebut semuanya untuk pemilik modal, karena keuntungan tersebut merupakan tambahan atas modal yang dimilikinya, sedangkan mudharib tidak mendapatkan apa-apa, kecuali upah yang sepadan, sebagaimana telah disebut di atas.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mudharib (pengelola) dalam semua hukum mudharabah yang fasid dikembalikan kepada qiradh yang sepadan (qiradh mitsl) dalam keuntungan, kerugian, dan lain-lain dalam hal-hal yang bisa dihitung, dan ia (mudharib) berhak atas upah yang sepadan (ujrah mitsl) dengan perbuatan yang dilakukannya. Apabila diperoleh keuntungan, maka mudharib berhak atas keuntungannya itu sendiri, bukan dengan perjanjingan dengan pemilik modal, sehingga apabila harta rusak maka mudharib tidak memperoleh apa-apa.

Beberapa hal yang menyebabkan kembalinya mudharabah yang fasid kepada qiradh mitsl adalah:

  1. Qiradh dengan modal barang bukan uang.
  2. Keadaan keuntungan yang tidak jelas.
  3. Pembatasan qiradh dengan waktu, seperti sayu tahun.
  4. Menyandarkan qiradh kepada masa yang akan datang, dan
  5. Mensyaratkan agar pengelola mengganti modal apabila hilang atau rusak tanpa sengaja.

Mudharabah yang shahih

Pembahasan mengenai mudharabah yang shahih meliputi beberapa hal, yaitu:

  1. Kekuasaan
  2. Pekerjaan dan kegiatan
  3. Hak mudharib, dan’
  4. Hak pemilik modal.

Jenis-jenis Mudharabah

Secara umum mudharabah dibadgi menjadi dua jenis yakni yang bersifat tidak terbatas (muthlaqah,unrestricted), dan yang bersifat terbatas (muqayyadah, restricted).

Mudharabah Muthlaqah

Pada jenis almudharabah  yang pertama ini, pemilik dana memberika otoritas dan hak sepenuhnya kepada mudharib untuk menginvestasikan atau memutar uangnya.

Mudharabah Maqayyadah

Pada jenis mudharabah yang kedua ini, pemilik dan pemilik dana memberikan batasan kepada mudharib. Di antara batasan itu, misalnya, jenis investasi, tempat investasi, serta pihak-pihak yang diperbolehkan terlibat dalam investasi. Pada jenis ini shahibul maal dapat pula mensyaratkan kepada mudharib untuk tidak mencampurkan hartanya dengan dana al-mudharabah.(Muhammad Syafi’I Antonio. 2001: 138-139).

Aplikasi dalam Perbankan

Al-mudharabah biasanya diterapkan dalam produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada:

  1. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan.
  2. Deposito special (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijara

Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:

  1. Pembiayaan modal kerja, seperti modal perdagangan dan jasa.
  2. Investasi khusus disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran uang yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.

Manfaat dan Risiko Mudharabah

Manfaat Mudharabah

  1. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
  2. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendanaan/hasil usaha bank hingga bank tidak akan pernah mengalami negative spreade.
  3. Pengambilan pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
  4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
  5. Prinsip bagi hasil dalam al-mudharabah/al-musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerimaan pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Risiko AMudharabah

Risiko yang terdapat dalam al-mudharabah, terutama dalam penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi. Diantaranya:

  1. Side streaming: nasabah menggunakan dana itu bukan bukan yang disebut dalam kontrak.
  2. Lalai dan kesalahan yang disengaja.
  3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.(DR. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. 2001: 97-98).

BAB III PENUTUP

SIMPULAN

Pengertian qiradh dan mudharabah mempunyai satu maknah. Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan qiradh atau muqaradhah bahasa penduduk Hijaz. Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan.

Setelah kita mengetahui beberapa pendapat para ulama diatas mengenai mudharabah atau qiradh, kiranya kita dapat pahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan keputusan.

Secara umum, landasan dasar syariah al-mudharabah lebih mencerminkan anjuaran untuk melakukan usaha. Melakukan mudharabah atau qiradh adalah mubah (boleh). Para ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-quran, sunah, dan ijma’.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Syafi’I, Muhammad Antonio. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
  2. Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
  3. Al-Mushlih, Abdulla, dan Shalah ash-Shawi. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.
 
8 Komentar

Ditulis oleh pada 25 Desember 2017 inci Diskusi Online

 

BANK KONVENSIONAL

BANK KONVENSIONAL

PEMAKALAH          : ENENG SITI WARSIAH

SMESTER               : III (TIGA)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (YAPERI) CIBINONG  2017

 

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Seiring berjalannya system ekonomi yang terus melejit membuat para umat islam ikut serta merasakan dampaknya yang mendesak untuk ditanggulangi, yaitu bagaiman interaksi umat islam dengan munculnya bank. bank-bank konvensional saat ini menawarkan system bunga, yang mana dalam islam dikenal dengan riba. islam melarang adanya riba, oleh karena itu diperlukan lembaga-lembaga perbankkan yang berbasis islam yang bebas dari praktek-praktek riba., sehingga munculnya bank syariah. sehingga dalam makalah ini saya mengupas mengenai bank konvensional dan bank syariah

RUMUSAN MASALAH

  1. pengelolaan bank konvensional
  2. definisi menurut para ahli
  3. dalil,syarat, dan rukunnya
  4. implementasi dalam kehidupan sehari-hari, keunggulan dan kelemahan bank konvensional

BAB II PEMBAHASAN

Pengelolaan bank konvensional

Berbagai pengertian bank :

  1. bank sebagai suatu badan yang tugas utamanya menghimpun uang dari pihak ketiga
  2. bank adalah yang tugas utamanya sebagai pelantara untuk menyalurkan penawaran dan permintaan kredit pada waktu yang ditentukan.
  3. bank adalah suatu badan yang tugas utamanya menciptakan kredit
  4. bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Secara umum bank adalah suatu badan usaha yang memiliki wewenang dan pungsi untuk menghimpun dana masyarakat umum untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana tersebut.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulakan bahwa Bank konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau mendasarkan prinsif syariah yang dalamkegiatan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Usaha bank konvensional :

  1. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat berjangka, tabungan dan atau bentuk yang dipersmakan dengan itu.
  2. memberikan kredit
  3. menerbitkan surat pengakuan hutang
  4. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.
  5. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
  6. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjam dana kepada bank lain. baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
  7. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
  8. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.

Produk bank yang ditawarkan oleh perbankkan konvensional :

  1. tabungan bagi anda yang sering berhubungan dengan bank pastinya sudah tidak asing lagi dengan produk bank yang saat ini banyak cara yang di gunakan bank untuk menghimpun ditabungan itu sendiri bank menawarkan produk mulai tabungan pendidikan dan tabungan sampai hari tua. hal tersebut semata-mata dilakukan oleh bank untuk menambah keuntungan mereka.
  2. deposito lain lagi dengan tabungan, produk perbankkan yang satu ini adalah produk penyimpanan dana tetapi dengan jangka waktu tertentu, sehingga nasabah hanya bisa mengambil uangnya dengan lama deposito yang dipilih, jika dibandingkan dengan tabungan deposito memiliki penawaran bunga yang jauh lebih besar.
  3. giro sedangkan gro merupakan sebuah produk perbankkan yang berpungsi untuk memindah bukukan dana dari rekening nasabah suatu ke rekening yang lain. fungsi dari giro ini tidak lain untuk mempermudah tranksaksi keuangan.
  4. cek cek merupakan suatu produk perbankkan yang memudahkan tranksaksi keuangan. cek tersebut merupakan surat printah kepada bank untuk mencairkan dana sebesar dana yang tertera pada cek. sedangkan cek itu sendiri terdiri atas beragam jenis salah satunya adalah cek atas nama dan cek atas unjuj.
  5. kredit merupakan sebuah produk perbankan yang mampu memberikan keuntungan besar pada sector perbankan.
  6. produk jasa lainnya produk perbankan yang tidak kalah penting yang lain adalah produk jasa lainnya yang antara lain meliputi transfer uang, transaksi RTGS,transaksi kliring dll

 

Definisi menurut para ahli, dan pendapat tentang bank konvensional

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak dapat menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional, yang memakai system bunga dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya, misalnya, ibdah haji di Indonesia, umat islam harus memakai jasa bank. tanpa masa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini, para ulama dan cendekiawan muslim masih tetap berbeda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank. perbedaan pendapat mereka seperti yang disimpulkan prof. Drs. Masjpuk Zuhdi adalah sebagai berikut

  1. pendapat syekh abu zahrah, guru besar pada fakultas hukum universitas cairo, abu a’la al-maududi (pakistan), muhamad Abdullah al-arabi, penasihat hukum pada Islamic congress cairo, dan lain-lain, menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba nasi’ah yang dilarang oleh islam. oleh karena itu, umat islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. mereka mengharapkan lahirnya bank islam yang tidak memakai system bunga sama sekali.
  2. pendapat A. hasan, pendiri dan pemimpin pesantren bangil (persis), bahwa bunga bank seperti dinegara kita ini bukan riba yang diharamkan karena tidak bersifat ganda sepertimana yang dinyatakan dalam surat ali imran ayat 130.
  3. tarjih muhammadiyah di siduarjo jawa timur 1968 memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank nega kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas halal dan haramnya, sesuai dengan petunjuk hadis, kita harus berhati-hati menghadapi masalah yang masih syubhat. oleh karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan hajah, artinya dalam keadaan mendesak/penting, barulah kita diperbolehkan bermuamalah dengan baik dengan system bunga itu sekedarnya saja.
  4. menurut Mustafa ahmad az-zarqa, guru besar hukum islam dan hukum perdata universitas syiria bahwa system perbankkan yang kita terima sekarang ini merupakan realitas yang tak dapat kita hindari. oleh karena itu, umat islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. hal ini karena, umat islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa system bunga untuk menyelamatkan umat islam dari cengkraman bank bunga (conventional bank).
  5. menurut penulis, perbedaan pendapat mereka tentang bank konvensional berkaitan erat dengan keudukan bunga di bank, apakah apakah termasuk riba atau tidak. hal ini sebagai akibat perbedaan mereka tentang takhrij al-hukmi (pengeluaran dan penggalian hukum) tentang riba setelah mereka sepakat bahwa riba itu haram.

 

pendapat ulama tentang riba secara garis besarnya terdiri atas dua golongan yaitu:

  1. pendapat yang menegaskan bahwa riba itu haram dalam segala bentuknya, pendapat dikemukakan oleh DR. Muhamad Darraz, seorang ahli hukum dari Saudi Arabia. ia mengatakan baik secara moral maupun sosiologis, riba itu sangat merusak. persoalan riba sekarang bukanlah persoalan sebab, illat, atau perinsip-perinsip dasar tentang riba, melainkan persoalan bagaimana menerapkan konsep riba itu. namun ia mengatakan bahwa keharaman riba itu merupakan sad-dzari’ah.
  2. menurut penulis, bila keharaman riba dinyatakan sebagai sad adz-dzari’ah, berarti dalam hal-hal tertentu dibolehkan. hal itu didasarkan pada satu kaidah fiqih : yang artinya : “sesuatu yang diharamkan karena sad adz-dzari’ah dihalalkan karena ada maslahat yang lebih kuat.”

Pendapat kedua, yang menegaskan keharaman riba, seperti yang disebut dalam alquran, berkaitan dengan kondisi ekonomi (kondisi sosial). oleh karena itu, hukum riba sudah berubah karena kondisi ekonomi sekarang jauh berbeda dengan kondisi masalalu. pendapat ini dikemukakan oleh DR. Ma’ruf Dawalibi, seorang ahli hukum dari mesir. ia membedakan antara riba produktif dan riba konsumtif. riba produktif diharamkan,sedangkan riba konsumtif tidak.

 

Tinjauan Fiqih Muamalah

Pembahasan produk bank konvensional, seperti telah dijalskan diatas, berkaitan dengan sejumlah bentuk muamalah dan terpulang pada kedudukan bunga yang dianut oleh bank itu sendiri dan bentuk produknya.

Kedudukan Bunga Bank

Yang berkaitan dengan bunga bank, seperti telah dijelaskan di atas, disini akan dikemukakan sebab atau ilat hukum diharamkannya riba menurut penulis, diharamkannya riba krena dua hal:

  1. adanya kezaliman, yaitu adanya keuntungan yang tidak sebanding. sebenarnya kelebihan itu bukan keharaman riba melainkan karena ada unsure kezaliman.
  2. adanya eksploitasi dalam lebutuhan pokok atau adanya gharar, ketidakpastian, dan spekulasi yang tinggi. oleh karena itu, bunga tidak diharamkan selama tidak mengandung dua unsur di atas : (latajlimuuna wala tujlamuuna) bentuk produk bank konvensional

Diantara produk bank tersebut yang sangat erat kaitannya dengan fiqih muamalah adalah mudharabah (join wanter). mudharabah sejak zaman jahiliyah sudah dilaksanakan, kemudianislam dating dan membolehkan dengan peraturan-peraturan tertentu. diantara persyaratan mudharabah yang terpenting yang diterapkan fuqaha adalah keuntungan mudharabah hak milik bersama antara pemilik modal dan pengguna modal yang pembagiannya melalui presentase, seperti 50%, 30%, dan lain-lain.

  1. keuntungan dalam mudharabah yang harus bersifat relatif, seperti yang telah ditetapkan pada fuqaha,bukan kadar teretntu dan, tidak terdapat dalilnya dalam alquran dan sunah. pada intinya mudharabah itu kesepakatan antara kedua pihak.
  2. bagi fuqaha yang menyatakan mudharabah itu fasid bila tidak memenuhi syarat, menyatakan bahwa pengguna modal sehingga menjadi buruh (penjual jasa) bagi pemilik modal sehingga masih dibenarkan oleh hukum dan tidak mengandung kedzaliman dan kemadaratan.selain itu, sesuatu perbuatan yang maslahat dan tidak memadaratkan dapat dibenarkan sesuai dengan hadis (la dororo walaa diroori , tidak mudarat dan tidak memudaratkan).

Dalil Syarat dan Rukun

Qadi Abu Bakar Ibnu Al-arabi dalam bukunya “Ahkamul Quran” berpendapat bahwa riba adalah setiap kelebihan nilai barang yang diberikan dengan nilai barang yang diterima. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan jika riba ialah penambahan dana (dalam bentuk bunga pinjaman) yang dibayarkan oleh seseorang yang memiliki utang dengan penambahan waktu tertentu, karena ia tidak mampu melunasi hutang-hutangnya.

Dalam ajaran islam, seorang muslim diharamkan memakan harta riba’. Atau dengan kata lain, hukum riba adalah haram! Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan bahwa riba merupakan perkara yang diharamkan. Pendapat ini didasari firman Allah Swt dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا

 “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..” (Q.S Al-Baqarah: 275)

Selain itu, ditegaskan dalam surah An-Nisa ayat 161:

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An-Nisa: 161)

Keharaman riba dijelaskan pula dalam kitab Al Musaqqah, Rasulullah bersabda :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.”(H.R Muslim)

 Implementasi dalam kehidupan sehari-hari keunggulan dan kelemahan bank konvensional

Keunggulan bank konvensional adalah sebagai berikut :

  1. dukungan peraturan perundang-undangan yang mapan sehingga bank dapat bergerak lebih pasti.
  2. banyaknya bank konvensional menggairahkan persaingan
  3. nasabah telah terbiasa dengan system bunga tidak dengan metode bagi hasil yang relative baru.
  4. banyak konvensional yang lebih kreatif membuat produk-produk baru
  5. metode bunga telah lama dikenal masyarakat

Kelemahan bank konvensional adalah sebagai berikut :

  1. adanya praktek spekulasi tanpa perhitungan
  2. kredit bermasalah
  3. praktik curang
  4. factor manajemen

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Secara umum bank konvensional adalah suatu badan usaha yang memiliki wewenang dan fungsi untuk menghimpun dana masyarakat umum untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana tersebut.

Bank konvensial adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsif syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran.

Menurut para ahli salah satunya pendapat syekh abu zahrah, guru besar pada fakultas hukum universitas cairo, abdul a’la al-maududi (pakistan), Muhammad Abdullah al-arabi, penasihat hukum pada Islamic congress cairo, dan lain-lain, menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba nasi’ah yang di larang oleh islam.

Adanya kezaliman yaitu adanya keuntungan yang tidak sebanding, ebenarnya kelebihan itu bukan sebab keharaman riba, melainkan karena adanya unsur kezaliman.

 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepanya penulis akan lebih focus dan details dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggungjawabkan. untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasa makalah yang telah dijelaskan,

DAFTAR PUSTAKA

Antonia, muhamad syafi’I, bank syariah dari teori ke praktik, Jakarta : gema insane, 2001.

arifin, zainul. memahami bank syariah :lingkup, peluang, tantangan dan prospek, Jakarta : alphabet, 1999.

syafe’i, rachmat. 2006. fiqih muamalah, bandung, CV. Pustaka setia.

yusuf, abu ubaidah, bank konvensional,economi islam

abu hamid muhamad bin Muhammad al-ghazali, ihya ulum ad-din,toha putra, semarang

 
3 Komentar

Ditulis oleh pada 10 Desember 2017 inci Diskusi Online

 

LUQATHAH

LUQATHAH

Dosen Pembimbing: Asep irfan rifai, M.Pd

Pemakalah: Saeful Mukhtar

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

YAPERI CIBINONG-BOGOR 2017

 BAB I             PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seringkali ketika seseorang menemukan barang yang tidak diketahui siapa pemiliknya, atau yang disebut dengan Luqatah merasa bingung, apakah barang tersebut harus diambil atau dibiarkan begitu saja ditempat yang sama. Dan apakah tindakan sipenemu dibenarkan oleh syara’.Hal ini terjadi karena kita tidak mengetahui hukum menemukan Luqatah atau barang temuan.

Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas dua diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu Luqathah. Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah yang sangat besar untuk kehidupan sosial.

Dalam kehidupan kira kira sering merasa berkewajiban untuk memberikan sesuatu yang menjadi hak orang lain, salah satu hak orang lain tersebut adalah mengembalikan barang yang hilang kepada orang yang memilikinya, dalam makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan sedikit tentang barang temuan atau dalam istilahnya disebut “Luqathah” serta segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

Rumusan Masalah

  1. Apa yang dimaksud dengan Luqathah?
  2. Bagaimana landasan hukumnya?
  3. Bagaimana syarat dan rukun Luqathah?
  4. Apa saja yang harus diketahui dan dilakukan ketika menemukan luqatah?

Tujuan

  1. Memenuhi tugas makalah tentang Luqathah dalam mata kuliah Fiqih Muamalah;
  2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Luqathah;
  3. Memahami apa yang harus dilakukan seorang muslim apabila menemukan barang temuan yang tidak diketahui siapa pemiliknya;
  4. Memiliki wawasan serta pengetahuan mengenai hak dan kewajiban penemu terhadap barang yang ditemukannya.

 

BAB II PEMBAHASAN

Pengertian Luqathah (Barang Temuan)

Luqathah (Barang Temuan) adalah barang-barang yang didapat (ditemukan) dari tempat yang tidak di ketahui siapa pemiliknya.

Secara etimologis, Barang temuan dalam (bahasa arab) disebut al-Luqathah, artinya ialahاشيئ الملتقطSesuatu yang ditemukan atau didapat.

Sedangkan menurut terminologis yang dimaksud dengan al-luqathah sebagaimana yang ditakrifkan oleh para ulama’adalah sebagai berikut:

  1. Menurut Muhammad al-syarbini  al-khatib pengertian al-Luqhathah ialahsesuatu yang ditemukan atas dasar hak yang mulia, tidak terjaga dan yang menemukan tidak mengetahui mustahiqnya (pemiliknya);
  2. Syaikh syihab al-din al-qalyubi dan syaikh umairah mendefinisikan al-luqhathah ialah sesuatu dari harta atau sesuatu yang secara khusus semerbak ditemukan bukan didaerah harby (daerahnya orang-orang yang merdeka), tidak terpelihara dan tidak dilarang karena kekuatanya, yang menemukan tidak mengetahui pemilik barang tersebut;
  3. Syaikh Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan luqhathah adalah sesuatu yang disia-siakan oleh pemiliknya, baik karena jatuh lupa atau yang seumpamanya”.

Secara umum dapat diketahui bahwa pengertian luqathah ialah memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.

Landasan Hukum

  1. Al Qur’an

“…dan barang siapa menghidupkannya, maka seolah-olah telah menghidupkan seluruh manusia”. (QS. Al Maidah, 32)

  1. As Sunnah

Ada beberapa hadist yang menerangkan mengenai barang temuan antara lain hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Zaid ibn Khalid al Juhai:

 “Dari Zaid ibn Khalid al Juhani ra. Sesungguhnya Nabi Saw ditanya perihal barang temuan ; emas dan perak ? Nabi menjawab, ketahuilah olehmu talinya (ikatannya), bungkusnya kemudian umumkan selama setahun,  jika dalam masa itu tidak ada yang mengakuinya,bolehlah barang tenuan itu anda belanjakan,sebagai amanat ditanganmu, jika kemudian pemiliknya datang memintanya, serahkanlah (danti barangnya/ harganya)”.. (HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan juga barang yang di temukan itu harus diketahui talinya, ukurannya dan bilanganya.

Hukum Luqathah

  1. Wajib, apabila diperkerkirakan bahwa barang itu akan hilang dengan sia-sia jika tidak mengambilnya.
  2. Sunat, apabila orang yang menemukan itu percaya kepada diri sendiri bahwa ia sanggup memeliharanya sebagaimana mestinya.
  3. Haram, Apabila Orang yang mengambilnya tidak percaya terhadap dirinya dan menyadari bahwa dirinya mempunyai ketamakan terhadap harta.
  4. Makruh : Bagi orang yang tidak percaya kepada dirinya (ragu-ragu) bahwa ia akan dapat merawat barang temuan itu atau tidak,
  5. Mustahab (dianjurkan),Apabila barang yang ditemukan itu berada ditempat yang aman, dan tidak menyebabkan hilang bila tidak diambil.
  6. Mubah, Hukum ini berdasarkan hadits Rasulullah saw: “Rasulullah saw. ditanya mengenai luqathah emas dan perak. Beliau lalu menjawab, “Kenalilah pengikat dan kemasannya, kemudian umumkan selama setahun. Jika kamu tidak mengetahui (pemiliknya), gunakanlah dan hendaklah menjadi barang titipan padamu. Jika suatu hari nanti orang yang mencarinya dating, berikan kepadanya.” (HR. Bukhari Muslim)

Sikap penemu terhadap barang temuan

  1. Penemu harus menyimpan dan memelihara dengan baik;
  2. Penemu harus memeberitahukan kepada umum tentang penemuan barang;
  3. Penemu wajib menyerahkan barang temuan tersebut kepada yang punya apabila diminta dan telahmenunjukkan ciri-cirinya dengan tepat.

Nabi saw. bersabda yang artinya: “Maka jika datang orang yang memepunyai barang tersebut, maka dialah yang lebih berhak atas barang itu.” (Hr. Imam Ahmad)

Rukun Luqathah

  1. Orang yang mengambil/menemukan hendaknya cakap bertindak hukum, sekiranya yang mengambil tidak cakap dan tidak adil, maka hakim berhak mencabut dan menunjuk orang yang adil dan bertanggung jawab. Jika anak-anak yang menemukan kekuasaan mengurus barang diserahkan kepada walinya.
  2. Bukti barang temuan, dikategorikan sebagai berikut:
  • Barang yang dapat disimpan lama, seperti emas dan perak;
  • Tidak tahan lama, seperti makanan;
  • Dapat beertahan lama dengan usaha, seperti susu yang dijadikan keju;
  • Barang yang membutuhkan nafkah, seperti binatang;

Syarat-syarat Luqatah

  1. Diumumkan selama setahun ditempat umum, menyebutkan ciri-ciri, sifat, tempat ditemukan, jumlah barang, dan sebagainya.
  2. Orang yang menemukan memilikikesangggupan untuk mengganti atas barang temuan yang telah menjadi miliknya karena pemiliknya datang setelah lewat waktu setahun.
  3. Jika benda yang ditemukan seharga 10 dirham ke atas, hendaklah masa pemberitahuannya selama satu tahun, bila harga benda yang ditemukan kurang dari harga tersebut maka boleh masa pemberitahuannya selama 3 atau 6 hari.

Barang Temuan Di Kawasan Tanah Haram

Adapun luqathah (barang temuan) di daerah tanah haram, maka tidak boleh dipungutnya kecuali dengan maksud hendak diumumkan kepada khalayak hingga diketahui siapa pemiliknya. Dan tidak boleh memilikinya meskipun sudah melewati setahun lamanya mengumumkannya, tidak seperti luqathah di daerah lainnya.

Macam-Macam Luqathah

  1. Yang orang tidak ada keinginan. Seperti cambuk, adonan roti, buah dan tongkat ini boleh dipungut dan tanpa diumumkan yang memungut boleh memiliki dan memanfaatkanya.
  2. Yang bisa menjaga dirinya dari binatang buas seperti unta, kuda, sapi, keledai  maka ini haram dipungut/diambil dan tidaklah yang memungutnya memilikinya dengan sebab diberitahukan berdasarkan Hadits Zaid bin Khalid:

مَا لَكَ وَلَهَا مَعَهَا حِذَاؤُهَا وَسِقَاؤُهَا حَتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا

“Bagaimana kamu ini, padahal unta itu selalu bersama sepatunya dan perutnya (yang terisi air) hingga pemiliknya bisa menemukannya (al-Bukhari)

  1. Yang boleh dipungut namun harus diumumkan seperti emas, perak, perhiasan dan yang tidak bisa menjaga dirinya dari binatang buas seperti kambing, ayam berdasarkan hadits Zaid bin Khalid di atas (al-Fiqh al-Muyassar, 1424: 265)

Pembiayaan Luqathah

Luqathah selama masa pemberitahuan kadang membutuhkan kepada pembiayaan seperti binatang membutuhkan biaya makan, minum dan yang mengembala ada juga yang tidak membutuhkan biaya seperti uang. Jumhur Fukaha berpendapat bahwa yang memungut luqathah binatang apabila ia membiayainya dengan izin hakim maka biayanya menjadi hutang bagi pemiliknya, begitu juga  jika tidak mendapat izin hakim menurut Mazhab Malik sedangkan menurut Imam yang tiga jika ia membiayainya tanpa izin hakim maka itu tabarru’.

Sayyid Sabiq mengatakan biaya yang dikeluarkan oleh yang memungut luqathah maka ia akan mendapatkannya kembali dari pemiliknya. Allahumma kecuali biayanya sama dengan mengambil manfaat dengan mengendarainya atau mengambil susunya.

Hilang dan Rusaknya Luqathah

Luqathah adalah amanat bagi orang yang mengambil. Jika hilang, rusak, berkurang nilainya tanpa sengaja, ia tidak menggantinya sebagaimana barang titipan.

Jika orang mengambil luqathah merusaknya atau hilang karena keteledoran, ia menggantinya dengan barang sejenis jika ada padanya, dan mengganti harganya jika tidak ada padanya.

Jika yang mengambil luqathah meninggal dunia, ahli waris menggantikan posisinya untuk menyelesaikan pengumuman jika belum genap setahun, dan boleh memilikinya setelah setahun. Jika pemiliknya datang, pemilik itu boleh mengambil barangnya dari ahli waris penemunya.

Ganti rugi luqathah

Muhammad bin Ibrahim mengatakan Jika barang temuan itu hilang atau ruksak pada masa pemberitahuan tanpa ta’adi dan tafrit maka tidak ada ganti rugi bagi yang memungutnya namun jika ta’adi dan tafrit maka ia wajib ganti rugi. (Mausu’ah al-Fiqh al-Islami, 3:613).

 

Pendapat

Pendapat para ulama apabila Menemukan Barang Hilang

Al-Hanafiyah

Sunnah untuk menyimpan barang barang tersebut apabila barang itu diyakini akan aman bila ditangan anda untuk nantinya diserahkan kepada pemiliknya. Tapi bila tidak akan aman, maka sebaiknya tidak diambil. Sedangkan bila mengambilnya dengan niat untuk dimiliki sendiri, maka hukumnya haram.

Al-Malikiyah

Apabila seseorang tahu bahwa dirinya suka berkhianat atas hata oang yang ada padanya, maka haram baginya untuk menyimpannya.

Asy-Syafi`iyyah

Apabila dirinya adalah orang yang amanah, maka disunnahkan untuk menyimpannya untuk dikembalikan kepada pemiliknya.

Imam Ahmad bin Hanbal ra.

mengatakan bahwa yang utama adalah meninggalkan harta itu dan tidak menyimpannya. Karena dikhawatirkan penemu tidak dapat menjaga amanatnya.

Pendapat pemakalah

Ketika seseorang menemukan barang yang tidak sengaja dan tidak diketahui pemiliknya, maka hal yang utama harus dimiliki oleh penemu yang muslim adalah menyadari bahwa barang tersebut bukan haknya, dan tidak berhak untuk memilikinya. Akan tetapi penemu tersebut diwajibkan untuk mengumumkan barang yang hilang hingga diketahui pemiiknya. Usaha penemu dalam mengumumkan berlangsung selama 1 tahun.

 

BAB III          PENUTUP

Simpulan

Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa barang temuan atau yang biasa disebut luqathah adalah segala macam benda yang didapatkan dari tempat yang tidak diketahui pemiliknya. Adapun hukum asalnya adalah sunah, dan hal ini bisa beribah sesuai dengan kondisi dari si penemu, jika si penemu ingin menguasai barang yang ia temukan maka ia berkewajiban mengumumkan baeang tersebut selama setahun jika barang yang ia temukan adalah barang yang berharga, sedangkan untuk barang yang sepele maka cukup diberitahu sekiranya sampai si pemilik tidak lagi mengungkitnya.

Saran

Penulisan makalah yang berjudul “Barang Temuan” ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu besar harapan penulis untuk mengkritisi makalah ini, baik dari segi  isi maupun dari segi penulisan makalah.

Selanjutnya, mudah-mudahan makalah ini dapat dimanfaatkan oleh semua pembaca dan dapat dimanfaatkan. Atas kritik dan seran dari pembaca, penulis ucapkan terimakasih.

 

DAFTAR PUSTAKA

Rohman, Abdul. & Rofiq, Ahmad. 1989. Fiqih. Bandung: CV. Armico.

Muhammad Azzam, Abdul Aziz. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta: Azzam.

Rasjid, Sulaiman. 2014. Fiqih Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung. (Cet. Ke-67)

Rasjid, Sulaiman. 2001. Fiqh Islam. Jakarta: Penerbit Attahiriyah Jakarta.

Musa, Marwan. 2013.”Belajar Fiqih Luqathah”,https://yufidia.com/belajar-fikih-luqathah-bag-2/, (diakses pada 27 Sept. 2017)

Sirjudin, ahmad. 2014. “Luqathah (Barang Temuan)”

http://juraganmakalah.blogspot.co.id/2014/04/luqathah-barang-temuan.html, (Diakses pada 28 Sept.2017)

Aksara tanpa nama. “Muamalah, Luqatahah (Barang Temuan),

http://dakwah2012.blogspot.co.id/2014/07/muamalah-luqathah-barang-temuan.html(diakses pada tanggal 28 Sept. 2017)

Waluya, Atep Hendang. 2014. “Luqathah (Barang temuan karena jatuh/lupa dibawa)” http://koneksi-indonesia.org/2014/luqathah-barang-temuan-karena-jatuhlupa-dibawa/

Badawi al-Khalafi, Abdul Azhim. 2004.“Luqathah (Barang Temuan)”. https://almanhaj.or.id/1229-luqathah-barang-temuan.html (Diakses pada 28 Sept 2017)

Efendi, juniska. 2015. “Fiqih Muamalah tentang barang temuan”.http://juniskaefendi.blogspot.co.id/2015/04/fiqih-muamalah-tentang-barang-temuan.html (Tanggal akses 29 September 2017, 01.27)

 
6 Komentar

Ditulis oleh pada 10 Desember 2017 inci Diskusi Online

 

Tag: